My Translate

Sabtu, 07 Juli 2012

Final Destination(the secret of photo)*part 10* (*ad(1-9)min*)#1

Haiiii….datang lagi niyyyy….hemm..udah pada penasaran? Yahhh…nggak yaaa???
Ah, bodo yang penting Fides datang lagiiii
.
Langsung aja yaaa…
CEKIDOT>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Final Destination
(the secret of photo)
*part 10*

Keadaan bukannya membaik sekarang ini. Dengan diketahuinya Debo sebagai korban selanjutnya, justru memperparah keadaan. Ify jadi sering mengurung diri di kamarnya, nggak mau makan seharian. Dan itu membuat Debo semakin bingung menghadapi pacarnya yang satu itu. tak beda dengan Zevana dan Iel, mereka juga masih aja saling diam. Rasanya, keadaan di villa semakin runyam saja. Saling sayang diantara mereka rasanya semakin renggang saja, hal itu semakin diperkuat dengan persahabatan antara Cakka dan Rio yang semakin kacau. Hampir setiap hari mereka adu mulut, dari masalah yang sebenarnya sepele. Bahkan pernah suatu hari Cakka kehilangan kendali dan hampir menonjok Rio dihadapan Agni dan Sivia.
“Gue nggak ngerti, kenapa Rio dan Cakka bisa jadi kaya begini…” kata Sivia yang duduk di tepi kolam renang bersama Agni.
“Apalagi gue, Vi. Cakka juga jadi temperament sama gue.” jawab Agni sedikit frustasi.
“Ini hampir nggak mungkin, Ag. Rio sama Cakka udah sahabatan dari SD, kan? Sebenernya apa sih masalah yang jadiin mereka sampe kaya gini…?”
Agni menatap Sivia, saudara sepupunya, “jadi… Rio belum nyeritain masalahnya sama Cakka ke elo?”
Sivia menggeleng, “belom. Dia cuma diem setiap gue tanya.”
Agni menunduk, “mereka itu sebenarnya…”
***

“Tapi loe harus makan!” teriak Zevana dari luar kamar Ify. Emosinya semakin sulit dikendalikan.
“Hiks… nggak Ze… gue nggak laper..” jawab Ify yang sedari kemarin masih meringkuk dibalik selimutnya tanpa makan sesuap pun.
“Emangnya elo udah makan apa?! dari kemarin pagi belom ada makanan sedikitpun yang loe makan!! Nggak laper darimana…?” Zevana terus-terusan ngebentak, “kalo loe kaya gini terus, loe semakin bikin gue khawatir. Bukan cuma gue, Debo dan yang lain juga, Fy…” kali ini suara Zevana melunak.
Belum ada jawaban dari dalam, Zevana juga belum bisa membuka pintu kamar itu karena dikunci dari dalam sejak kemarin, akibatnya ia harus tidur di kamar Agni dan Sivia semalam.
“Huh…” Zevana mendengus kesal. Mulai putus asa. Lalu Gabriel datang mendekati ‘mantan’ pacarnya itu.
“Kenapa?” tanya Gabriel pelan.
“Ify… masih nggak mau makan.” Jawab Zevana tanpa melihat lawan bicaranya. Gabriel ingat pesan Debo kemarin. Ia harus menjaga Ify, dan agaknya sekarang ia harus mulai melaksanakan mandat dari sahabatnya itu. walau masih belum bisa dipastikan Debo benar-benar akan menjadi ‘mangsa’ selanjutnya atau tidak.
“Biar aku yang bujuk.” Kata Gabriel mengambil alih tempat Zevana berdiri di depan pintu. Zevana masih menenteng nampan berisi nasi dan lauk untuk Ify.
“Fy…” Iel memulai aksinya, “Fy, dengerin gue…”
Tidak ada jawaban dari dalam, Iel mulai lagi, “Fy, gue nggak mau maksain loe makan, gue cuma mau ngasih tau ke elo, apa yang diomongin Debo ke gue kemarin.” Ify mendongak, menatap ke arah pintu yang membatasinya dengan Zevana dan Gabriel, “dia bilang ke gue, dia sama sekali nggak nyesel udah tau semua itu, walau sebenernya masih ada perasaan nggak terima, tapi dia bilang ke gue, dengan begitu dia bisa ngelakuin yang terbaik buat loe di sisa waktunya…” Ify semakin menangis, tapi kali ini perasaannya lebih terbuka mendengar ucapan sahabat dari SDnya itu,
“dan asal loe tau, kalo loe begini terus itu, sama aja mempersulit Debo buat bisa bahagiain loe. Gue yakin loe pasti nggak mau itu terjadi, kan? Yang terpenting sekarang ini adalah support buat Debo yang gue rasa nggak bisa kita lakukan sendirian, Fy. Loe wajib support Debo juga. Loe semangat Debo.” Zevana seperti tidak menyangka semua itu keluar dari mulut Gabriel, seorang Gabriel yang selalu gusar, biasanya untuk hal seperti ini Rio yang jago, tapi itu juga jika Rio sendiri tidak sedang ada masalah. Zeze melihat Gabriel yang ternyata juga sedang melihatnya.
“Aku mau berubah…” bisik Gabriel pada Zevana, Zevana menunduk.
“Jadi… Fy, makan, ya?” tanya Zevana nggak dengan emosinya tadi.
Sekitar sepuluh detik mereka menunggu respon dari Ify, lalu suara kunci pintu yang dibuka terdengar dari dalam kamar, dan Ify membukanya. Wajah Ify hampir sama seperti saat Oik depresi karena kehilangan sahabatnya, Acha, dulu. Tanpa ada yang menduga, Ify memeluk Gabriel tanpa berkata sepatah kata pun, dan anehnya Gabriel tidak menolak, ia justru mengusap rambut Ify pelan. Tapi, Zevana berusaha biasa saja dengan kejadian itu, di sini Gabriel adalah sahabat baik Ify. Ya, sahabat baik. Lagipula, Zevana bukan lagi pacarnya, kan?
“Makan, ya?” Gabriel mengambil sesuap nasi dan disuapkan ke Ify setelah rangkulannya terlepas. Zevana tersenyum. Mencoba tersenyum.
***

Agni dan Sivia sedang memperhatikan foto Debo yang sedang mengenakan kaus baru dari Ify, di teras depan. Nggak ada tanda-tanda khusus seperti foto-foto sebelumnya, karena selain background toko baju dibelakang Debo tidak ada yang spesial lainnya.
“Loe yakin Debo selanjutnya?” tanya Sivia.
“Ini bukan masalah yakin atau nggak, Vi. Ini masalah pengalaman-pengalaman sebelumnya. Oik meninggal setelah Acha, dan Obiet menyusul. Lalu empat hari yang lalu Ozy. Itu semua berurutan kan, Vi? Ini memperkuat dugaan kalau habis ini pasti…”
“Gue…” sahut seseorang dari belakang Sivia dan Agni. debo berdiri dengan ekspresi aneh. Beda dengan biasanya.
“De… sori…” Agni nggak tau harus berkata apa. hanya kalimat itu yang keluar.
“Ngapain harus bilang sori?” kata Debo mendekati dua gadis bersaudara itu.
“Ehm, I, Ify udah mau makan loh.” Kata Sivia yang juga jadi panik, nggak tau kenapa.
“Gue udah tau, gue lihat waktu Iel dan Zeze bujuk Ify tadi. Ehm, ada yang liat Cakka sama Rio?”
Sivia dan Agni menggeleng bersamaan setelah sebelumnya saling pandang.
“Mereka lagi ada masalah ya?” tanya Debo lagi.
Sivia yang sudah tau penyebab tengkaran antara CaYo dari Agni jadi menunduk, bagaimana pun juga ini salahnya yang minta kabur. Bodoh kamu, Via! Rutuk Sivia dalam hati.
“Tau nggak?” kata Debo membangunkan lamunan Sivia, “semalem waktu gue tidur, gue sama sekali nggak mimpi. Tidur gue berasa nyenyak dan damai banget. Apa itu tanda-tanda kalo gue bakal mati ya?”
“De…” Agni menyela, sementara Sivia sedikit syok.
“itu foto gue, ya?” tanya Debo menunjuk sebuah foto yang dibawa Agni.
“I, iya.” Agni bermaksud menyerahkan foto itu pada Debo, tapi Debo menolak.
“Nggak! Gue nggak mau lihat cara kematian gue sendiri! sampe kapan pun biarin gue nggak tau. Gue… gue nggak siap.” Begitu katanya sebelum Debo pergi meninggalkan Sivia dan Agni. Sivia jatuh di pelukan Agni.
“Gue nggak kuat, Ag…” lirihnya pada Agni.
“Nggak beda sama gue, Vi… tapi kita harus selesaiin rantai ini. atau paling nggak, kita harus bisa mengakalinya.”
“ngakalin?” Sivia terbangun dari pelukan Agni.
Agni mengangguk mantap sambil tersenyum.
***

Beralih pada Cakka dan Rio yang ternyata sedang berada di sebuah café. Rio yang mengajak Cakka ke tempat itu dengan alasan ingin menyelesikan masalahnya.
“Gue tau loe sakit hati banget, Cak…” Rio memulai perbincangan mereka setelah saling diam sekitar lima belas menit. Cakka hanya diam sambil mengaduk kopi panasnya, “dan gue juga tau, gue salah besar. Gue juga pasti bakal ngelakuin hal yang sama kalo gue jadi elo.”
“Tapi, gue nggak bakal ngelakuin hal yang sama kalo gue jadi elo!” tandas Cakka sinis.
“Cak, plis dengerin gue.” Cakka tersenyum miring, seperti meremehkan Rio, “selama ini loe selalu anggep gue yang salah, tanpa mau dengerin penjelasan gue. tanpa sadar loe juga udah ngelakuin kesalahan. Loe kira dengan keadaan kita kaya gini bakal nyelesaiin masalah? Terutama… Agni dan Sivia, mereka pasti sedih banget liat kita kaya begini.”
Dalam hati Cakka membenarkan perkataan Rio. Sebenernya Cakka juga nggak tega kalau Agni harus lihat pertengkarannya dengan Rio, terutama kemarin, saat bogem mentahnya hampir mendarat di mata Rio, jika Agni tidak menahannya.
“loe bener.” Kata Cakka akhirnya. Mendengar itu Rio sedikit tersenyum.
“Sekarang ini, yang kita perluin adalah kerja sama, Cak. Kerja sama satu tim. Loe pasti juga tau tentang Debo, kan? Ify jadi ngurung diri di kamar karena nggak mau Debo jadi korban berikutnya. Dan Gabriel Zeze. Loe tau? Mereka putus dua hari yang lalu.”
“Putus?” Cakka tersentak, ia memang belum tau berita itu.
“Sivia yang cerita ke gue.” terang Rio.
“Kenapa Agni nggak cerita ke gue?”
“Apa yang bisa dilakuin seorang cewek yang pacarnya jadi berubah temperament?” tanya Rio.
“Maksud loe?”
“Gue yakin Agni nggak cerita ke elo, karena dia takut.” Cakka menunduk, itu benar, “Agni takut karena loe mulai berubah… dia nggak berani bikin loe marah, karena dia rasa, emosi loe lagi labil akhir-akhir ini. dia juga jadi takut bakal bikin hubungan kalian ikut-ikutan rusak.” Rio mengakhiri kalimatnya. Cakka tercenung, ia sama sekali nggak mikir sampe ke sana. Dia terlalu kebawa emosi yang berlebihan. Ya, Tuhan…
“dari mana loe tau semua itu?” tanya Cakka.
“Sivia cerita ke gue tentang semua curhatan Agni.”
Cakka merenggut rambutnya, “Akh! Shit!” umpatnya kasar. “gue nggak nyangka kalo bakal kaya gini… gue…” Cakka dan Rio kembali diselimuti keheningan.
Rio melihat ke jam tangan di pergelangannya, “udah sore, kita harus pulang. Gue tunggu loe di mobil…” Kata Rio mengambil kunci mobil Obiet di atas meja. Lalu berlalu meninggalkan Cakka. Tapi langkah Rio terhenti saat suara seseorang memanggilnya.
“Rio!” panggil Cakka, Rio menoleh, “maafin gue.” katanya akhirnya.
Rio hanya tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya. Syukurlah perang dingin antara Rio dan Cakka akhirnya selesai. Sahabat seperti mereka emang nggak bisa seterusnya tengkar. Ya, CaYo pulang ke villa dengan atmosfer yang berbeda sekarang, tak ada lagi lirikan sinis atau umpatan dalam hati, yang tersisa hanya senyum antarsahabat…
***

“Ify udah denger semuanya dari Gabriel.” Kata Ify yang menghampiri Debo di kamarnya, terlihat Debo sedang duduk di kasurnya. “dan Ify mau bikin hari-hari Ify sama Debo jadi berkesan.”
Debo menatap Ify penuh arti, lalu tersenyum, dan merentangkan kedua tangannya. Ify menyambut tangan itu lalu jatuh dalam pelukan Debo.
“Maafin Ify…” lirih Ify.
“Aku juga salah. Maafin Debo, ya…” Ify mengangguk mantap. Agni yang kebetulan melihat adegan itu tak bisa menahan air mata, ia sangat terharu ditambah rindu, rindu dengan pelukan Cakka. Cakka yang sekarang berubah…
“Cakka??” kata Agni kaget saat mendapati sepasang tangan merangkulnya dari belakang.
“Maafin aku, Ag…” desis Cakka tepat di telinga Agni. Agni kembali menangis. “I love you…”
Dari kejauhan Rio menyaksikan adegan itu, akhirnya Cakka yang kepala batu bisa juga luluh. Lalu tangan Rio digenggam seseorang, siapa lagi kalau bukan tangan Sivia.
“Vi?”
“Biar aku tebak…” kata Sivia girang, “kalian pasti udah baikan!”
“Kok tau?” tanya Rio.
“Sahabat kaya kalian nggak mungkin betah lama-lama musuhan. Aku kenal kalian. Kalian itu sahabat sejati deh!” kata Sivia sangat senang.
“Sok tau, kamu!” Rio mengacak rambut Sivia, manja. Lalu tiba-tiba Sivia memeluk Rio.
“Diem-diem, aku juga kangen sama kamu yang kaya gini, Yo. Lama banget rasanya nggak canda sama kamu…”
“I love you, Via…”
“I’m too.”
***

Berbeda dengan pasangan Debo-Ify, Cakka-Agni, dan Rio-Sivia, pasangan Zevana-Gabriel justru saling diam sekarang ini. Zevana menggoyang-goyangkan kakinya di dalam air kolam renang, masih jelas teringat adegan Gabriel dan Ify tadi. Nggak bisa dipungkiri Zevana jealous berat. Tampaknya, susah banget pisah dari Gabriel, padahal baru dua hari yang lalu mereka sama-sama sepakat untuk break sementara. Dari jendela samping, Gabriel memperhatikan Zevana. Pikirannya juga sedang penuh dengan bagaimana caranya agar ia bisa kembali dengan Zevana. Bagaimana caranya membuktikan kesungguhannya pada Zevana. Zevana…
“Hey, Yel!” Cakka menepuk bahu Gabriel dari belakang, membuat Gabriel kaget.
“Eh, elo, Cak… kaget gue…”
“Ngapain loe di sini?” Cakka melihat ke arah luar jendela, sekarang ia mengerti mengapa Gabriel tadi berdiri di situ dan memperhatikan ke laur.
“Yang tabah, Yel… semuanya bisa selesai…” kata Cakka.
“Gue tau.” Gabriel melihat ke Zevana sekali lagi, “emangnya masalah loe udah selesai?”
“masalah yang mana?” tanya Cakka.
“Rio.”
“Rio? Rio kenapa?” Cakka pura-pura nggak tau.
“Loe sama Rio lagi berantem, kan?”
“Gue? sama Rio? Nggak lah! Buktinya sekarang gue sama Rio dan Via lagi nonton TV bareng.”
“Berarti udah kelar?”
“Apanya?”
“Akh, bodo!” Gabriel menjitak kepala Cakka pelan. Frustasi sama lawan bicaranya itu. “ternyata loe masih sama.”
“Hahaha… eh, gue sama yang lain mau ngomongin sesuatu di ruang tengah. Penting. Ini ada kaitannya sama… rantai maut.” Ekspresi Cakka berubah serius. Gabriel mengernyitkan keningnya.
“udahlah buruan ke ruang tengah. Kita tunggu. Ajak juga si Zeze.” Suruh Cakka.
Gabriel terdiam, sekali lagi diliriknya Zevana di tepi kolam, “loe aja! Gue…” Gabriel tak melanjutkan ucapannya, setelah menepuk bahu Cakka, ia menuju ruang tengah. Cakka kebingungan sendiri.
“Ayo buruan. Ini penting!” kata Agni yang ngomel-ngomel saat berpapasan dengan Gabriel, “mana Zeze??”
Gabriel nggak menggubris pertanyaan Agni, ia terus berlalu menuju yang lainnya. Agni seperti bertanya pada Cakka apa yang terjadi lewat gerakan dagunya. Tapi hanya dibalas Cakka dengan mengangkat bahu tanda tak mengerti.
“Zevana! Ada hal penting yang mau kita omongin bareng-bareng! Kumpul di ruang tengah!” teriak Cakka kepada Zevana di luar. Zevana mengangguk. Agni hanya geleng-geleng kepala.
“Ayo!” Cakka menggandeng tangan Agni ke ruang tengah. Sekali lagi Agni melihat ke Zevana yang entah benar atau tidak sedang mengusap pipinya dari air mata. Zevana…

Bersambung>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Gimana? Pada suka sama part ini nggak? Tetep setia baca, ya! Muah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar