My Translate

Sabtu, 07 Juli 2012

Final Destination(the secret of photo)*part 4* (*ad(1-9)min*)

Haiii...datang lagi uyyy.Admin 1 kasihan nanti kalo admin 1 nggak ol, and admin 9 juga jarang ol yang baca fides jadi penasaran. jadi admin 1 juga ngepost sekarang aja. doain admin 1 biar bisa ngerjain soal2 UKK ya
.
Udah langsung aja ya..
CEKIDOT>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Final Destination
(the secret of photo)
*part 4*

“Ini nggak mungkin terjadi…” isak Oik yang didekap Obiet di ruang tamu.
“udahlah, Ik. Kamu harus tabah ya?” hibur Obiet.
“Acha itu sahabatku, Biet. Kita udah sahabatan dari SD. Kenapa Acha harus diambil secepat ini? Kenapa kita harus kehilangan Acha dengan keadaan kaya gitu?”
“A, aku juga nggak tau, Ik. Tapi, biar gimana pun ini kecelakaan, Tuhan udah ngerencanain ini semua… yang penting kamu harus tabah.”
“Aku nggak yakin apa bisa ngelepas Acha gitu aja, Biet. Acha, Biet… Acha…” tangis Oik makin menjadi, sementara itu tak jauh berbeda dengan pasangan O2, Ify juga masih shock di pelukan Debo.
“Padahal kemaren Acha masih ada sama gue, Deb. Padahal Acha masih sehat-sehat aja kemaren.”
“Sst… gue tau, Fy.”
“Dan nggak tau kenapa gue ngerasa ini ad hubungannya sama firasat yang dibilang Acha.”
“Firasat?” tanya Cakka yang tiba-tiba munculn dari belakang debfy.
“Semalem, Acha bilang kalo nggak tau kenapa dia ngerasa bakal kangen sama kita-kita. Wajah dia keliatan sedih banget, Deb. Dia juga bilang sebenernya dia rada percaya sama feeling yang dibilang sama Sivia dan Agni. Dia juga ngerasain hal yang sama dan dia juga sempet bilang…”
“Bilang apa?” tanya Obiet.
“Bia bilang kalo, kalo hidup dia nggak lama lagi…” tangis Ify makin pecah, “Cak, gue yakin ini ada hubungannya sama firasat Sivia-Agni…”
Cakka menuju ke TKP, di sana ada Gabriel yang meriksa mayat Acha, Zevana  hanya sesegukan sambil berdiri dari jauh sama Rio.
“Gimana, Yel?” tanya Rio.
“Gue nggak tau, Yo. Yang jelas Acha udah nggak bisa diselamatin.” Seketika Zevana menangis tersedu-sedu.
“Gimana polisi?” tanya Iel.
“Gue udah telpon, dan mereka dalam perjalanan ke sini.” Terang Rio.
“Yo, ke sini sebentar deh..” pinta Cakka yang menemui Rio.
“Apaan?” jawab Rio setelah mendekati Cakka dan menjauh dari Zeviel.
“Gue nggak tau ini bener apa nggak…” kata Cakka.
“Maksud loe ?” tanya Rio bingung sama maksud Cakka
“Maksud gue tadi si Ify blng gini kata.nya kemarin malem Acha bilang kalo dia ngerasa umur.nya udah gag lama lagi” jawab Cakka.
“Ya ini hasil.nya yang dikatakan Acha kemarin. Umur.nya emang gag lama lagi. Gue juga terpukul sama kepergian Acha yang sengeri ini, Cak. Gue sama sekali nggak nyangka.” jawab Rio.
“Yo, gue mau nyelidikin, apa bener ini ada hubungan sama sesuatu. Apalagi Ify bilang kalo ini ada hubungannya sama firasat Agni dan Sivia” kata Cakka.
“gue juga sempet mikir kaya gitu, Cak. ok, gue juga penasaran. Kita selidikin..” jawab Rio.
“Ya udah gue pergi dulu mau liad Agni” pamit Cakka.
“Ok, eh btw loe tau Sivia dimana?” tanya Rio.
“Mungkin sama Agni kali, soalnya tadi terakhir gue liat Agni sama  Sivia” jawab Cakka.
“Gue ikut loe deh” pinta Rio.
“Ok” jawab Cakka.
Cakka dan Rio menuju ke taman. Sementar itu di taman.
“Gue yakin ini adalah bukti dari rasa takut kita selama ini, Siv. Gue yakin ini adalah rantai maut itu”
“Sebenernya gue nggak mau percaya sama firasat itu, Ag. Tapi loe bener, ini adalah rantai maut. Dan loe tau apa arti dari rantai maut itu?”
Agni mengangguk, “Setelah ini…”
“Bakal ada yang nyusul Acha…” kata mereka bersamaan.
“Apa?!” pekik Cakka dan Rio yang juga bersamaan.
“Kalian nggak serius sama yang kalian bilang tadi, kan?” tanya Rio.
“Yo, kita serius. Ini bener-bener akan terjadi sama kita semua. Kita akan dapet giliran untuk…” Sivia menghentikan kata-katanya kemudian menelan ludahnya sendiri, “Kita semua akan dapet giliran nyusul…Acha.”
“Maksud loe kita korban selanjutnya?” tanya Cakka gemetar.
“Gue juga nggak tau. Tapi sebaiknya kita waspada…” jawab Agni.
“Ya Tuhan, kenapa liburan ini malah bawa bencana…” desis Rio pelan.
“Yo, Cak, kita butuh kepercayaan dari kalian. Kalian tau kan feeling kita selalu bener. Jadi plis…tolong Bantu kita buat yakinin yang lainnya.” Pinta Sivia.
“Aku pasti percaya sama kamu, Siv” Jawab Rio.
“Aku juga sama. Aku dan Rio bakal percayain seutuhnya sama kalian” ujar Cakka sambil tersenyum pahit.
Dua hari setelah berpulangnya Acha ke pangkuan Tuhan. Mayat Acha dikirim ke Jakarta untuk dimakamkan. Gara-gara kejadian itu, Ozy jadi nggak dipercaya sama keluarga Acha, Ozy bahkan nggak diperbolehin buat ke pemakaman Acha dan itu bikin kebencian Ozy ke Agni makin jadi. Malam ini mereka bersebelas ngumpul di ruang tamu, setelah berdoa buat Acha, mereka memandangi foto-foto hasil jepretan Cakka.
“Yang ini bagus loh…” kata Zevana menunjuk foto pacarnya.
“Iya dong siapa dulu… Gabriel Stevent…”
“Pacarnya siapa dulu??”
“Iya iya, aku punya kamu seorang Zev..”
Sivia memandangi foto demi foto, dia merasakan ada keganjilan di gambar Acha.
“Ada apa, Siv?” tanya Rio.
“Ada yang aneh, Yo.” Jawab Sivia.
“Aneh? Aneh gimana?”
“Aku juga nggak tau, Yo. Tapi… kamu ngerasa ada yang aneh dari foto ini nggak?”
“Aneh? Ehm.. mungkin foto Acha ini rada terlalu terang kali ya. Lampunya terang banget.”
“Kamu tau apa maksud aku?”
“Apa?”
“Ah, mungkin aku telalu paranoid sih Yo. Tapi apa foto ini nggak kaya ngasih tau ke kita tentang kematian Acha?”
“Hah? Maksud kamu?”
“Acha meninggal karena kejatuhan lampu. Dan foto ini… lampunya terlalu terang kan, Yo?”
“Mungkin iya, Siv. Ah, tapi masa iya sih. Mungkin juga itu cuma kebetulan kan?”
“Iya sih, Yo. Yaudahlah nggak usah dipikirin. Mungkin aku terlalu parno.”
“Iya, Siv. Istirahat gih” Rio merebahkan kepala Sivia pada pundaknya.
“Agni… lagi ngapain?” tanya Cakka yang duduk di sebelah Agni.
“Gue lagi liat hasil foto loe. Kok jelek sih hasilnya?”
“SLR gue ngadat kemaren, Ag…”
“Yee.. nggak professional kamu!” ledek Agni mencubit hidung Cakka.
“Auw.. atit Agni…”
“Biarin…”
“Cih, masih bisa-bisanya kalian pacaran ya?” kata Ozy tiba-tiba.
“Maksud loe apa, Zy?” Cakka rada kesal.
“Acha baru aja meninggal. Cewe yang gue sayang baru aja meninggal, kalian malah asik-asikan pacaran? Dan yang bunuh cewe gue adalah pacar loe Cak!”
“Stop, Zy! Jaga mulut loe!” Cakka berdiri karena emosinya memuncak.
“Kenapa? loe mau bela seorang PEMBUNUH?? Iya?”
“Zy, sampe kapan loe mau nyalahin Agni?! Dia nggak salah, Zy. Acha meninggal karena kecelakaan. Dan itu juga udah takdir dari Tuhan! Loe harus bisa nerima kenyataan, Zy”
“Nggak! Gue nggak bisa nerima kenyataan ini. Acha gue meninggal, ortunya udah nggak percaya lagi sama gue… itu sakit banget, Cak. Loe nggak tau gimana rasanya! Apa perlu Agni mati juga biar loe tau gimana rasanya?”
“Stop, Zy!! Kalo loe bukan temen gue, gue udah tonjok mulut loe yang nggak bisa dijaga itu. Gue nggak terima Agni loe fitnah kaya gitu. Dia cuma kebetulan yang liat Acha pertama kali, bukan berarti dia yang bunuh kan?”
“Cak, udah Cak…” Agni yang menangis mencoba menenangkan pacarnya. “Zy, gue minta maaf. Tapi sumpah demi apapun gue bukan pembunuh Acha. Acha juga sahabat gue, mana tega gue ngelakuin hal sekejam itu, kan?”
“Bener kata Agni sama Cakka, Zy.” Tambah Debo.
“Loe harus terima kenyataan ini…” sambung Iel.
“Loe semua nggak ngerti! Mana ada pembunuh yang ngaku?! Bisa-bisa penjara penuh!” jawab Ozy sambil tersenyum miring, menatap Agni sinis.
“Loe yang nggak ngerti! Kasian Agni yang loe tuduh kaya gitu! Bayangin kalo yang dituduh kaya gitu adalah Acha! Tega loe?! Iya?!” Obiet ikut bicara.
“Whatever, Biet!”  sungut Ozy lalu meninggalkan mereka bersebelas.
“Loe harus tabah, Ag…” kata Ify mencoba menenangkan Agni yang semakin tersedu.
“Gue nggak habis fakir sama si Ozy. Bisa-bisanya dia nuduh Agni.” Kata Cakka.
“Maklumin aja lah, Cak. Dia baru ditinggal sama Acha.” Nasehat Obiet.
“Sori, bukannya gue mau memperburuk keadaan, tapi apa nggak sebaiknya kita pergi dari tempat ini.” Kata Zavana.
“Bener kata Zevana, kalo yang dibilang Agni bahwa liburan ini bawa sial, mending kita balik aja ke Jakarta.”
“Iya sih, gimana?” Debo meminta persetujuan.
Cakka melihat ke arah Agni yang menggeleng pelan.
“Percuma…” jawab Sivia pelan. “Kita udah terperangkap.”
“Apa maksud loe terperangkap?” tanya Debo.
“Semalem, Agni mimpiin wanita misterius itu lagi.” Seketika Agni berlari ke kamar karena nggak mau denger mimpi itu lagi, Cakka menyusulnya.
“A…apa isi mimpinya?” Iel bertanya dengan gemetar.
“Kita udah terlambat, harusnya dari dulu kita pergi dari tempat ini, tapi karena…”
“Apa, Siv?” Rio yang sedari tadi menggenggam tangan Sivia mulai takut karena Sivia sedikit menangis.
“Karena satu korban sudah didapat.”
“Jadi…?”
“Ya. Ki…kita korban berikutnya…” lanjut Sivia kemudian dipeluk Rio.
“STOP! Gue nggak mau denger semua ini! Gue muak sama lelucon kaya gini…! Biet, pokoknya Oik mau pulang hari ini juga!” bentak Oik yang memang sedang temperament.
“Oik, loe harus tenang…”
“Tenang? Sahabat gue meninggal mengerikan karena tempat ini! Gue yakin tempat ini terkutuk! Kita harus pergi sekarang! Nggak peduli sama mimpi Agni!”
“Oik…” Obiet mencoba menenangkan Oik yang berlari menuju kamarnya disusul dengan Zevana dan Ify.
“Shit! Kenapa ini harus terjadi sih?” erang Iel.
“Gue masih nggak percaya sama semua ini…” tambah Debo.
“Sama…” sambung Rio ragu, kemudian Sivia menggenggam erat tangan Rio.
“Loe harus percaya sama gue, Yo…” desisi Sivia pelan, tapi Rio justru meninggalkan Sivia disusul dengan Debo dan Iel, sehingga Sivia sendirian di ruang tamu.
‘Tuhan, kenapa ini semua harus terjadi sama kita? Kenapa harus Acha? Dan aku rasa Rio mulai nggak percaya sama omongan aku… Tuhan, apa yang harus aku lakuin…’
Tiba-tiba angin bertiup kencang menerbangkan semua foto yang ada di atas meja, Sivia merasakan perasaan yang aneh, sam seperti saat dia merasakan tatapan mata wanita berkerudung itu. Lalu dua buah foto jatuh tepat di pangkuan Sivia. Foto Acha yang sangat terang, sekali lagi Sivia merasakan kejanggalan dalam foto Acha itu, lalu foto yang kedua adalah foto…
“Oik…”  desis Sivia.
Tiba-tiba Sivia merasakan seluruh bulu kuduknya merinding dan dia memutuskan untuk menemui Oik, dan saudara yang selalu percaya dengannya, Agni…
“Gue yakin ini ada hubungannya sama foto itu, Ag…” terang Sivia ke Agni yang berada di kamarnya bersama Cakka dan Rio.
“Gue nggak tau, Siv. Gue masih nggak yakin sama apa yang gue pikirin sendiri. Gue shock, Siv. Gue nggak tahan…” isak Agni yang matanya mulai bengkak.
“Ag, bertahan, ya. Masih ada gue…” kata Cakka mengarahkan kepala Agni ke pundaknya.
“Ag, kalo ditanya, gue juga nggak percaya bahkan nggak mau percaya sama feeling ini. Tapi firasat itu terus ganggu gue, Ag. Gue tau ini sulit, tapi bener kata Cakka, kita harus bertahan. Kita jalanin cerita ini sama-sama. Gue tau dengan kuatnya kita, setan pengganggu itu bakal kalah”
“Masih ada gue, Ag. Gue akan jaga loe. Loe nggak perlu khawatir.”
“Liat Cakka. Dia bakal support loe, Ag. Dia… masih percaya sama… loe.” Kata Sivia sedikit melirik ke Rio.
“Thanks ya, Cak…” ucapa Agni pelan.
“Gue juga akan jaga loe, Siv. Jaga kalian, jaga kita semua. Karena… gue percaya sepenuhnya sam loe, sama Agni. Sama kaya rasa percaya Cakka.” Kata Rio menatap lembut ke arah Sivia.
“Makasih, Yo. Aku nggak yakin tanpa kepercayaan kamu, aku nggak akan sanggup bertahan.”
Rio mendekap Sivia, begitu juga dengan Cagni.
“Kalo gitu, kalo bener apa yang dibilang Sivia. Kita harus selidiki foto itu” Agni menyimpulkan.
“Gue seneng loe bisa kaya gini lagi, Ag” Kata Sivia.
“Ini juga berkat loe. Berkat kalian…”
Sivia tersenyum lega, walau dalam hati ia sama takutnya dengan Agni.
“Ok, gue mau nyamperin Oik sama yang lain”
“Gue ikut.” Balas Rio. Mereka berdua pun menuju ke kamar Oik.
“Gue bangga sama loe, Siv.” Kata Rio setelah keluar dari kamar Agni. “Sori gue sempet nggak percaya sama loe. Gue bener-bener nggak nyangka hal kaya gini harus terjadi di antara kita.”
“Gue tau, Yo. Gue juga masih susah buat nerima kenyataan ini. Tapi Show must go on!”
“Yap, loe bener. Pertunjukan harus berlanjut!”
@kamar Oik.
“Gu, gue nggak mau a, ada di tempat terku…tuk kaya di sini…” ucap Oik yang tampak seperti orang gila sekarang.
“Oik, loe harus tenang. Masih ada gue, Ik.” Obiet masih aja mencoba menstabilkan emosi Oik yang labil itu.
“Biet, ini yang loe pesen.” Debo datang membawa sebotol pil penenang. Lalu Obiet menyuruh Oik meminumnya. Dan tak lama setelah itu Oik tertidur pulas.
“Sumpah, gue nggak tega liat pacar gue kaya gini.” Kata Obiet mengelus rambut Oik.
“Jangankan elo, gue aja miris banget liatnya, Biet.” Balas Debo.
“Tapi, Agni bilang kita nggak bisa pulang kan?” Iel menambah.
“Gue lebih mentingin Oik dari pada firasat Agni ataupun Sivia itu.”
“Nggak, Biet. Loe harus tetep di tempat ini. Paling nggak sampe kita tau apa yang sebenernya terjadi”
“Siv, kita bahkan belom ke pemakaman Acha, loh…” kata Ify.
“Gue tau. Tapi plis kalian harus tetep tinggal.
“Emang apa yang sebenernya terjadi?” tanya Debo, “Kematian Acha itu kecelakaan kan? Nggak ada yang perlu diselidiki lagi…” Sivia menatap Rio, bermaksud menyuruh Rio untuk menjelaskan ke teman-temannya itu.
“Gini, loe, bro. kita cari amannya aja. Kemaren, karena kita nggak percaya sama Agni dan Sivia, akhirnya hal yang nggak kita inginkan terjadi sama Acha. Jadi mending sekarang kita percaya sama Agni dan Sivia…”
“Emang siapa sih si Sivia? Peramal?” tiba-tiba Ozy berkata dari ambang pintu kamar, “Atau mungkin, si Agni lagi nyiapin rencana pembunuhan buat kita…”
“Jangan asal ngomong loe, Zy. Lama-lama loe bisa gila!” Rio menahan emosinya.
“Bulshit sama kalian semua!” Ozy kembali mengurung diri di kamarnya.
“Sekarang, terserah kalian mau percaya ke gue, ke Agni, Cakka dan Sivia? Atau ke Ozy yang mulai gila itu…”
“Untuk saat ini gue lebih milih buat tetep tinggal apapun yang terjadi” Kata Iel.
“Gue sama kaya Iel” Zevana ikut setuju.
“Gue ikut Zevana.” Ify menggandeng Zevana.
“Ok, kalo Ify di sini. Gue ikut.” Debo akhirnya mengalah, “Loe, Biet?”
Pandangan semuanya teralih ke Obiet.
“Well, I stay.” Jawab Obiet akhirnya.
@Cagni.
“Gue nggak ngerti ah, Cak. Perasaan foto ini biasa aja deh.” Kata Agni.
“Ehm, sebenernya foto ini gawat semua sih, Ag.”
“Ga, gawat semua gimana?”
“Fotonya hampir semuanya jelek, kan? Dan loe tau ap artinya?”
“A, apa?”
“SLR gue makin parah rusaknya. Dan gue musti beli yang baru…. Loe tau berapa harganya? 6 juta, Sayangku Agni…” rengek Cakka menyembunyikan wajahnya di belakang pundak Agni sok mewek.
“Ah, Cakka. Gue pikir apaan… serius dong…” omel Agni.
“Itu serius! Serius banget, karna bagi gue SLR itu nyawa gue, Ag, nyawa kedua gue…”
“Terus posisi gue diamana?” tanya Agni nyindir.
“Hehe, loe juga nyawa gue lah. Loe jiwa gue, loe hati gue, penyemangat, pelipur lara nan istimewa forever ever after….!”
“Guomball!!!” toyoran Agni pun mendarat di jidat Cakka.
“Woy, woy, woy! Disuruh nyelidikin foto malah pacaran aja kalian!” omel Rio yang baru dateng bareng Sivia.
“Gimana?” tanya Sivia.
“Nggak gimana-gimana. Gue nggak bisa ambil kesimpulan apa-apa, nih.” Jawab Cakka.
“Hemf, yaudahlah. Hari udah malem nih. Mending kita istirahat. Besok kita lanjutin. Yang penting anak-anak udah naro kepercayaan ke kita. Mungkin semuanya bisa lebih gampang” jawab Rio.
“Woy, itu malah beban bagi kita, bro. secara, kita jadi musti bisa mecahin teka-teki ini kan?” omel Cakka.
“Iya juga sih. Tapi yah, pokoknya kita lanjutin besoklah.”
“Ok, gue juga udah ngantuk,” kata Agni.
“Beb, aku ke kamar dulu, ya. Apa mau aku disini nemenin kamu bobok?” goda Cakka.
“Ih, apaan sih. Genit loe!” omel Agni mencubit hidung pacarnya itu.
“Siv, sampe besok ya. Tidur… istirahat ya…” salam Rio romantis.
“iya, Yo. Thanks.”
Cakka dan Rio menuju kamarnya, Agni juga udah lelap tidur, tapi nggak buat Sivia, dia masih penasaran sama foto itu. Berkali-kali dia mandangin hasil jepretan SLR Cakka itu dengan seksama. Tapi dia ngga tau juga apa yang harus diperhatiin. Akhirnya, tengah malem Sivia pun menyerah kemudian tertidur.
Esoknya…
‘ceklek’ suara pintu berbunyi. Oik keluar dari kamarnya, Obiet yang berada di kamar sebelah terbangun dan mendapati pacarnya itu keluar kamar.
“Mau kemana, Ik?” tanyanya.
“Gue mau jalan-jalan”
“Jalan-jalan? Ini masih jam setengah 4 pagi, Ik.”
“Kalo gitu gue mau ke kolam.”
“Kolam? Buat apa?”
“Berenang…”
“Loe nggak lagi ngigau kan, Ik? Loe nggak bisa berenang…”
“Kalo gitu gue mau liat air kolam.”
Obiet semakin bingung sama tingkah Oik, bayangin, mana ada cewe yang bangun jam setengah empat pagi cuma buat berenang, padahal dia nggak bia berenang. Selain itu, tampak sangat jelas lingkaran hitam di sekeliling mata Oik. Oik keliatan depresi, mungkin sikapnya ini masih ada hubungannya sama kematian sahabatnya itu.
“Kenapa? Loe nggak mau anter gue? Nggak apa-apa. Gue bisa sendiri..” kata Oik dengan tatapan kosong menuju ke kolam renang.
“Nggak Ik. Gue ikut. Ik, tunggu gue!” Obiet berlari mengampiri Oik.
“Udah dong, Ik. Berhenti dari sikap loe yang kaya gini. Gue sedih liat loe terus-terusan kaya gini…” Kata Obiet setelah mereka duduk di kursi panjang di tepi kolam.
“Gue nggak papa. Gue sengaja ke sini karena gue mau nginget kenangan gue sama Acha. loe tau kan Acha itu jago berenang. Gue seneng banget liat dia yang berkali-kali menang lomba renang.”
“Ik, Acha udah nggak ada. Loe harus bisa terima kenyataan itu.”
“Nggak bisa, Biet. Susah…”
Air mata Oik mengalir lagi. Obiet mendekap Oik cukup lama sampe Oik terlihat tertidur. Obiet bener-bener nggak tega sama keadaan Oik sekarang ini. Obiet melepas dekapannya, lalu perlahan memejamkan mata karena mengantuk. Tanpa Obiet sadari Oik terbangun, Oik seperti melihat sesuatu yang mengajaknya menuju kolam renang, semakin ia mendekat, tanapa sadar ia mulai masuk ke dalam kolam, dan Obiet tak menyadarinya.

Bersambung….

OMG, apa yang akan terjadi dengan Oik?
Oh no, nantikan part berikutnya yaa…
.
Like and comment ditunggu. Saran, kritik yang pedes-pedes akan diterima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar